Ketika Jalan Kampung Memanggil
Aku selalu punya kebiasaan aneh: kalau pulang kampung, aku suka berjalan perlahan di jalan kampung yang rumahnya berjajar tidak rapi itu. Bukan karena mau olahraga, tapi karena jalan itu seperti buku harian yang bisa aku baca. Ada bekas roda gerobak di pinggir, ada bercak minyak dari bapak tukang becak yang selalu lewat jam lima, dan bau tempe goreng yang seolah mengikuti setiap langkahku. Jalan kampung itu bicara—dengan cara yang halus, kadang konyol, kadang menyayat.
Ada Apa di Balik Pagar? Warga dan Cerita Mereka
Di setiap pekarangan, ada cerita. Bu Tejo yang kalau ngomong selalu diselingi tawa kecil dan “duh, kamu ini” setiap kali aku nyengir, menanam bunga kembang telang di pot bekas minyak. Anak-anak berkumpul di depan rumah Pak Lurah, menunggu kue pancong yang dibawa oleh nenek-nenek dengan tas anyaman. Kadang aku duduk di teras sambil menyeruput kopi pahit, mendengar lelaki tua bertengkar tentang kapan terakhir kali ada hujan lebat yang membuat got meluap. Mereka ngobrol tentang masa lalu—tentang sekolah yang dulu cuma satu ruang, tentang jembatan bambu yang pernah rubuh, tentang film-film yang diputar di balai desa sampai orang-orang nonton sambil angkat kaki di kursi kayu.
Masyarakat, Tradisi, dan Warisan yang Tak Tertulis
Warisan di desa ini bukan cuma bangunan lama atau naskah kuno yang terlipat di lemari. Warisan itu berupa kebiasaan berbagi. Ketika panen, kalau kamu lewat, jangan heran kalau keseharianmu tiba-tiba dipenuhi ajakan makan bersama. Ada rasa malu kalau pulang tangan kosong. Tradisi bersih-bersih makam jelang musim kemarau masih kuat, dan anak-anak kecil diajak ikut, bukan karena dipaksa, tapi karena itu semacam ujian kecil: kamu tahu nama nenek moyangmu? Itu cara mereka menanamkan memori.
Aku pernah menonton prosesi kecil selepas panen—irama gamelan entah dari mana muncul, orang-orang berjalan pelan membawa sesajen, ada tawa yang pecah ketika seseorang salah langkah karena sandal terpeleset lumpur. Momen-momen seperti itu menghangatkan hati. Dan, tentu saja, ada ritual yang bikin aku selalu tersenyum: lomba tangkap belut yang berakhir dengan orang dewasa terguling-guling, muka penuh lumpur, sementara anak-anak bertepuk gembira. Warisan kami bukanlah monumen, melainkan momen-momen lumpur itu.
Kenapa Jalan Kampung Selalu Punya Cerita?
Karena jalan itu tempat kita bertemu—bukan hanya menempuh jarak. Pagi hari, tukang sayur lewat dengan sepeda berderit dan teriakan khasnya yang membuat semua orang tahu sarapan siap di meja. Sore hari, para remaja nongkrong di pojokan sambil bercerita tentang dunia yang jauh dari sawah, tentang kerja di kota, tentang cinta yang belum jelas ujungnya. Jalan kampung menyimpan kontras antara yang lama dan yang baru. Kadang aku merasa seperti penjaga waktu: setiap langkah mengingatkanku siapa aku berasal.
Di satu sudut jalan, ada pohon beringin tua yang menjadi markas permainan dan curahan hati. Kalau aku duduk di bawahnya, kau bisa merasakan suara-suara kecil—bisikan kakek yang bercerita tentang penjajahan, musik radio tua di rumah tetangga, gonggongan anjing yang tiba-tiba membuat semua orang menoleh. Bahagia di sini sederhana: cerita lucu yang diulang sampai semua orang ikut tertawa, bau bakaran daun pisang, atau rasa geli ketika tetangga baru salah menyebut nama kepala dusun.
Perlukah Kita Menjaga Cerita Ini?
Aku percaya iya. Jalan kampung mungkin terlihat sepele bagi yang lewat sekilas, tapi ia membawa identitas. Kalau kita cuek, tradisi bisa luntur seperti cat yang terkelupas. Aku tidak ingin cerita-cerita itu hilang, karena mereka yang membuat kita merasa dimanusiakan—dikenal, dicemooh manis, dan dicintai tanpa syarat. Kadang aku menulisnya di buku catatan, kadang aku merekam tawa mereka dengan ponsel, dan sekali aku sengaja menempelkan sebuah foto tua di dinding rumahku, biar setiap pagi aku ingat dari mana aku bermula.
Oh ya, untuk yang suka menjelajah situs-situs sejarah komunitas atau gereja kecil yang punya arsip, aku pernah menemukan koleksi menarik di churchstmore—dokumentasi foto yang membuatku terharu dan sekaligus penasaran untuk kembali bertanya pada orang tua tentang detail-detail yang mungkin terlupakan.
Akhir kata: jalan kampung itu bukan sekadar aspal atau batu yang menutupi tanah. Ia adalah memori yang berjalan, mengumpulkan tawa, air mata, dan kerepotan sehari-hari. Dan setiap kali aku pulang, aku berjanji pada diri sendiri untuk mendengarkan lebih seksama. Karena di sana selalu ada cerita baru—yang bikin aku tertawa kecil, tersedu, dan terkadang malu sendiri melihat betapa hangatnya rumah yang sederhana itu.